Satu tahun lamanya, rutinitasku kian biasa-biasa saja, Senin ke Sabtu berkecamuk dengan kertas-kertas baru, secara repetitif, selalu saja begitu. Setiap harinya berjumpa dengan berbagai macam manusia, aura merah menyala serta ambisi yang bergelora, selalu mendominasi hampir setiap peron kereta. Tak sedikit pula, mereka yang sudah membiru, mengecap paginya kelabu, karena semalaman buron diburu mantik-mantik masa depan.
Pagi yang kusut dari sang mantan ibu kota.
Namun bukan itu yang ingin kuceritakan, hari ini, sore tadi, di Grogol yang sedang menanti matahari meneggelamkan diri, aku berpapasan dengan orang yang hadir dari masa lalu, tubuhnya merona jingga, lengannya mengepal sebuah harapan, dan birai bibirnya sesaat mengenyam senyum, tertuju padaku. Semuanya masih sama, persis seperti satu tahun lalu, lengannya yang selalu mengepal harap, senyumnya yang selalu membuat kalap, dan semerbak vanilla yang menelusup jauh kedalam sanubariku. Dan ia bergeming, gagu ditengah kerumumunan yang tuli dan tak bisa menunggu.
Dan malam ini, aku lupa caranya berpura-pura, aku lupa caranya bersandiwara, dan aku juga lupa caranya baik-baik saja. Malam memaksaku tidur larut, disusupi ingatan-ingatan ilegal yang lolos dari pejagaanku yang lalai.
Pada langit cawang yang muram, lagi-lagi aku menyelam pada ingatan-ingatanku tentang kapal kita yang karam. Nggak perlu cape-cape menyusuliku ke masa sekarang, aku masih bisa pergi bermesraan denganmu di masa lalu.