labirin menuju “aku”

Kafi.
2 min readOct 24, 2022

--

Photo by Maksym Kaharlytskyi on Unsplash

dari delapan miliar jiwa populasi manusia, dua ratus tujuh puluh lima juta diantaranya merupakan penduduk berstatus warganegara Indonesia, lalu beberapa dari mereka pernah berlabuh pada hatiku hingga beberapa jejaknya masih dengan utuh tertinggal didalamnya. sementara aku sebagai satu-satunya manusia yang meninggali aku, mengapa tak pernah bisa masuk ke dalam diriku sendiri?

mengapa orang-orang dengan mudahnya membiarkan orang lain masuk kedalamnya secara cuma-cuma sementara mereka pun tak tahu apa-apa? mereka tidak tahu mereka ini apa, mereka ini siapa, dan mereka buta. pemikiran acakku memang acapkali membuat nalarku bekerja meski waktu sudah menunjukkan pukul tiga dengan kabut-kabut dan embun menyelimuti kulit-kulit kering mendingin. tapi justru karena ia, aku menjadi terduduk pada kursi tua untuk menulis ini.

aku bingung untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh pemikiranku sendiri sementara jam dinding yang menggantung terus berdetik, aku meminta bantuan pada unggahan-unggahan milik orang lain di internet, mencoba mendengar beberapa siniar dan berakhir dengan beberapa senandung pada kedua belah telingaku. aku menerima beberapa jawaban dari beragam pemikiran, ada yang menyebut bahwa hakikat sebagai aku ialah menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhannya dan adapun yang berkata bahwa aku ialah pembelajar dalam setiap angka-angka usianya.

jawaban yang beragam tersebut belum bisa menjawab pertanyaan siapa aku sebenarnya, hanya berbentuk sebuah corat-coret yang menghasilkan sebuah pemikiran bahwa aku, kamu, dan kalian adalah bentuk baku dari sebuah juang yang tak berujung kemudian disekolahkan oleh waktu pada peristiwa-peristiwa futur dan lampau.

jawaban sederhana yang tidak menjawab tersebut mampu membuatku lebih tenang untuk terus berjalan. bila lelah maka rehat menjadi sebuah jawab karena juangnya tak berujung, bila membara jangan terburu karena tidak sedang berlomba. lalu sebenarnya apa yang sedang diperjuangkan? sederhana, jawabannya diri sendiri sebagai pribadi yang terus berjalan hingga kelak dijemput sebuah kata,

tumpur.

untukku yang sedang hilang, kamu yang sudah sejauh ini bertahan, dan kalian mebagaikan kata “serah”. perlu digarisbawahi bahwa kita jauh lebih berharga daripada yang sedang dipikirkan.

sekian dan selamat malam.

ditulis dan disuarakan langsung oleh si empunya

--

--

Kafi.
Kafi.

Written by Kafi.

In the midst of manifesting: Jakarta dan Keputusasaan Yang Romantis

No responses yet